Jumat, 14 September 2012

Menjadi Pengajar dalam Persekutuan Umat Tuhan

Bahan Pembacaan: Bahan KRT GKP Rabu 19 September 2012
Yakobus 3:1 “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.”

Rasul Yakobus telah sangat prihatin tentang perilaku orang-orang yang berada dalam persekutuan umat Allah dan menyebut diri mereka Kristen. Yakobus sudah berbicara tentang lidah dalam Pasal pertama di mana ia memberi kami nasihat harus cepat untuk mendengar dan lambat dalam berbicara. Kemudian di Pasal 1:26  “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” Khawatir dengan bahaya lidah kita yang memiliki kecenderungan untuk segera mengungkapkan apa yang saat itu ada dalam pikiran kita, ia menyarankan bahwa kita harus mengekang itu.
Kenapa sih, kita harus begitu khawatir tentang pengendalian lidah kita? Yakobus memberi kita jawaban dalam ayat pertama dari pasal ketiga. Hal ini karena manusia, dan terutama guru iman, lebih ingin menjadi seorang pengajar daripada belajar. Kadang-kadang kita melihat ada lebih banyak yang mengajarkan agama hari ini daripada orang yang sungguh-sungguh mau belajar. Segera setelah seseorang mendengar beberapa khotbah, ia merasa telah menjadi seorang teolog yang siap mengkritik pendeta dan mengajar orang lain dalam hal teologi. Pada zaman dahulu ilmu yang dipelajari paling mendalam dan paling sulit dari semua ilmu adalah ilmu teologi, dan universitas pertama didirikan untuk tujuan mengajar pelajaran ini. Sekarang dengan mendengar beberapa kalimat dalam Alkitab orang dapat membuat orang Kristen membusungkan dada dan membuatnya percaya bahwa ia adalah seorang guru yang sudah layak dalam persekutuan umat Allah. Ini adalah satu bentuk penipuan-diri-sendiri dan sebentuk kemunafikan yang ingin diperingatkan oleh Yakobus. Kita sebaiknya tidak berpura-pura bahwa kita tahu lebih banyak daripada yang sesungguhnya dalam persekutuan umat Allah. Memang, tentu saja, ini bukan untuk mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat menggunakan orang-orang dengan sedikit pengetahuan. Allah tetap menggunakan manusia dalam keterbatasan mereka, tapi salah menurut Yakobus kalau seseorang menganggap dirinya adalah seorang guru padahal ia sendiri menyadari bahwa sebenarnya tidak. Suatu hari seorang pengkhotbah terpelajar disambut oleh pengkhotbah yang tidak berpendidikan yang membenci pendidikan. “Pak, anda seorang lulusan perguruan tinggi, ya?” “Ya, Pak,” jawabnya. “Saya bersyukur,” jawab pendeta yang tidak terpelajar itu, “bahwa Tuhan membuka mulut saya meskipun saya tidak belajar apapun.” “Memang pernah terjadi”, jawab pendeta yang belajar, “terjadi dalam waktu Bileam, ketika keledainya bisa berbicara dalam tuntunan Tuhan, tetapi hal-hal tersebut semakin jarang terjadi saat ini. Mungkin anda adalah salah satu kejadian langka.”
Tampaknya bahwa pada gereja awal, kesempatan diberikan kepada orang-orang beriman yang berkumpul bersama-sama untuk ibadah untuk berdiri dan memberikan kesaksian atau nasihat. Banyak yang berpikir bahwa kesaksian dan ibadah adalah sesuatu yang baru, tapi sebenarnya tidak. Hal itu sama tuanya dengan Gereja itu sendiri. Kebebasan berbicara dan berekspresi menjadi salah satu ciri dalam ibadah Kristen awal. Tapi, seperti yang sering terjadi, kebebasan itu dahulu dan sampai saat ini masih sering disalahgunakan. Ada saja beberapa orang yang bangkit dan, bukannya memberikan perkataan kesaksian atau nasihat, menguasai percakapan secara keseluruhan. Tentu saja, jika perkataannya ini disajikan dengan baik dan dimaksudkan untuk peneguhan dari orang-orang yang mendengarnya dan tidak bertentangan dengan contoh dan kehidupan dari orang yang berbicara itu sendiri mungkin tidak akan ada yang keberatan. Tetapi jika niat dari perkataannya adalah kepuasan dari naluri “pamer”, maka, bahkan jika apa yang dikatakannya itu baik, hal itu dikutuk oleh James. Niat adalah sesuatu yang penting dalam semua kegiatan kita, apalagi yang berkaitan dengan Injil. Jika seseorang harus berdiri di tengah-tengah jemaat untuk tujuan menarik perhatian pada dirinya sendiri, bukan kepada Kristus, mungkin lebih baik bagi dia kalau tetap duduk. Persekutuan umat Allah dapat berjalan tanpa orang tersebut. Alangkah kita perlu menjadi seperti seorang tukang sapu di India yang sering membuat orang berkerumun saat ia memberitakan Injil. Suatu hari seorang pejalan kaki berkata dengan nada mencemooh dia, “Mengapa orang-orang berkumpul dengan begitu hormat hanya untuk mendengarkan seorang tukang sapu?” “Ketika Juruselamat masuk ke Yerusalem di atas seekor keledai,” jawab tukang sapu itu, “orang-orang menaruh jubah dan baju mereka di bawah kaki keledai itu. Bukan demi keledai itu, tapi karena Raja segala Raja yang naik di atasnya. Ketika Kristus turun dari keledai, tak ada yang peduli lagi tentang keledai itu. Keledai dihormati selama Raja segala raja yang menggunakannya.” Begitu pula dengan kita. Saat kita berhenti rendah hati menjadi alat di tangan Tuhan untuk meneguhkan orang lain, kita tidak akan memberikan sukacita lagi bagi orang lain dan kepada Allah. Hal pertama yang kita harus perhatikan jika kita ingin menjadi pengajar di rumah Allah adalah motivasi kita, mengapa kita memiliki keinginan itu. Jika niatnya benar, Allah dapat memakai kita apakah kita berpendidikan atau tidak.
Kata kerja yang digunakan oleh Yakobus dalam teks Yunani aslinya cukup signifikan, yaitu gínesthe, yang dalam arti radikal atau ketika mengacu kepada orang berarti “memiliki keberadaan yang baru” Akan lebih akurat kalau kita menerjemahkannya sebagai kata kerja imperatif, “Jangan menjadi.” Pada masa para Rasul, seperti juga yang sering terjadi saat ini, mereka yang mengajarkan Firman Tuhan mengambil sikap bahwa sebagai guru mereka tidak dapat diajar oleh orang lain. Mereka pikir diri telah mencapai keadaan dimana orang lain harus mendengarkan mereka, dan bahwa mereka tidak perlu mendengarkan orang lain. Tidak diragukan lagi bahwa kita semua, bahkan orang percaya yang paling bodoh, mampu berbicara sepatah kata nasehat, kata-kata pengajaran. Tapi sebagaimana kita memberikan pengajaran kita kepada orang lain, mari kita mengizinkan orang lain untuk mengajar kita. Ketika menjadi guru kita tidak boleh kehilangan anggapan bahwa kita sendiri perlu diajar. Seorang pernah bercerita bahwa ia merasa geli suatu hari, saat ia menjamu seorang pengkhotbah yang brilian, dan mendengar dia berbicara tentang seorang rekan kerja-nya yang sepertinya menganggap dirinya sebagai orang keempat dari oknum dalam Trinitas. Hal itu memang keadaan yang sangat menyedihkan pikiran. Roh Kudus ingin semua orang yang telah lahir ke dalam persekutuan umat Allah untuk menjadi pengajar, tapi juga tidak pernah berhenti belajar. Pengajar yang tidak mau diajar pastilah seorang pengajar yang buruk, dan pengajar seperti itulah yang oleh Yakobus dikatakan bahwa sudah terlalu banyak. Semoga Tuhan melindungi kita dari sikap seperti! Adalah lebih baik untuk kita semua, yang membuka mulut kita untuk berbicara kepada orang lain tentang Kristus, untuk sebelumnya memeriksa diri kita sendiri. Di tahun 59 M, tidak lama setelah Paulus bertobat, ia menyatakan dirinya “tidak layak untuk disebut seorang rasul.” Kemudian dia bertumbuh dalam kasih karunia dan di tahun 64 M ia berseru, “Saya adalah yang terkecil dari antara semua orang kudus”, dan sesaat sebelum kematiannya, ketika ia telah mencapai kedewasaan dalam Kristus di tahun 65 M, pengakuannya, “Aku adalah orang yang paling berdosa.” Tidak heran ajaran Paulus masih terus hidup. Hai para pengajar, satu-satunya cara agar apa yang anda ajarkan bisa hidup setelah anda pergi adalah untuk bertumbuh dalam kerendahan hati. Kalau kita mau sederhanakan, apa yang Yakobus nyatakan adalah bahwa kita memiliki terlalu banyak pengajar yang bangga akan dirinya sendiri. Dia tidak mengatakan bahwa kita tidak harus memiliki banyak guru, tetapi bahwa kita seharusnya tidak memiliki guru yang bangga akan dirinya sendiri, karena motif dari guru yang bangga akan dirinya sendiri bukanlah mendidik orang percaya, melainkan keinginan untuk memamerkan pengetahuannya.
Rasul Paulus senada dengan Yakobus dalam apa yang dia katakan ke jemaat Korintus dalam 1 Korintus 14:26-34. Ayat 26 mengatakan: “Jadi bagaimana sekarang, saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun.” Dengan kata lain, jika perkataan kita tidak membangun, lebih baik diam. Bukankan ini adalah aturan pengaman? Bukankah ini adalah prinsip menghormati Kristus dalam Injil? Jika kita benar-benar mentaatinya, kita akan memiliki gangguan, perkelahian dan bentrokan yang lebih sedikit antar pribadi dalam persekutuan sebagai umat Allah. Alangkah kacaunya ibadah Kristen di Korintus, dan di tempat lain, kalau semua orang berdiri untuk mengucapkan sepatah kata untuk Tuhan padahal itu sebenarnya untuk memamerkan dirinya sendiri. Jangan memiliki guru yang seperti itu, kata Yakobus. Mereka mempermalukan Kristus.
Perhatikan juga bahwa Yakobus menyebut mereka sebagai “saudara-saudaraku.” Seolah-olah dia berkata, “Saya harus menjaga juga, supaya saya juga jangan menjadi seorang pengajar yang tidak layak,  dan saya dengan mudah bisa juga mengajar karena saya ingin pamer, atau dengan tidak mempraktikkan apa yang saya ajarkan.”
Kenyataan bahwa Yakobus menganggap mungkin bahwa ia juga bisa menjadi guru yang sia-sia dan tidak konsisten jelas ditunjukkan oleh penekanan kata kita dan ia menggunakan kata kerja dalam ayat ini, “kita akan menerima.” Bagian kedua dari ayat ini berbunyi: “sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat” Perhatikan bahwa ia tidak mengatakan “kamu akan dihakimi,” tetapi “Kita akan dihakimi”.
Apa yang akan terjadi dengan para guru itu? Kata Yunani yang digunakan adalah kríma, yang berasal dari kata kerja krínō, yang berarti, dalam hubungan dengan Allah, “memisahkan, membedakan”, Ia akan memisahkan orang-orang dari yang telah menjadi pengajar Firman-Nya dan akan menghakimi dengan standar jauh lebih ketat daripada orang Kristen lainnya. Penghukuman di sini tidak benar-benar berarti penghukuman ke dalam neraka abadi, keterpisahan kekal dari-Nya, melainkan perhitungan yang terpisah berdasarkan apa yang kita ajarkan dan bagaimana kita mengajarkannya. Karena kita mengasumsikan pentingnya posisi kepemimpinan dalam persekutuan umat Allah, akan ada tanggung jawab khusus dan lebih besar kepada Allah pada hari penghakiman. Bagaimana Roh menuntun kita, itulah panggilan yang kita ambil, bukan berdasarkan keinginan untuk membanggakan diri sendiri.

Minggu, 09 September 2012

Permainan Golf di Surga


Musa, Yesus dan seorang berjambang yang lebih tua sedang bermain golf satu putaran. Pertama Musa yang memukul bola. Bolanya melenceng dan mengarah ke sebuah kolam. Dengan cepat Musa mengangkat stik-nya dan air kolam itu terbelah sehingga bola itu dapat terus meluncur melewati kolam itu dan menuju daerah yang rata. Giliran Yesus memukul bola dan bola itu mengarah ke kolam yang sama. Kali ini bolanya menggelinding di atas permukaan air dan menuju ke arah lubang. Giliran terakhir si orang tua yang memukul bola. Bolanya melenceng jauh menuju ke arah jalan raya. Bolanya masuk ke bak sebuah truk yang kebetulan lewat dan truk itu menurunkan muatannya ke sebuah rumah dan bolanya menggelinding ke sebuah daun teratai yang ada di kolam rumah itu. Seekor kodok besar menelan bola itu. Pada saat itu juga Seekor elang besar turun dan mencengkeram kodok itu dan mengangkat kodok itu terbang ke arah lapangan golf. Ketika kodok itu ada di atas lapangan golf, kodok itu memuntahkan bolanya dan bola itu masuk ke lubang golf. Sebuah hole-in-one yang sangat indah. Musa melihat ke arah Yesus dan berkata, "Inilah yang aku tidak suka ketika kita bermain dengan AyahMu!"
Keajaiban yang tidak terlihat seperti keajaiban, lebih mirip kebetulan. Dan kebetulan itu memang keajaiban yang paling indah.
Memang tidak menyenangkan menjadi lawan dari orang yang seluruh rencanaNya pasti terlaksana. Namun alangkah menyenangkannya kalau kita menjadi bagian dari rencanaNya yang pasti akan terlaksana


Sabtu, 01 September 2012

Pekerjaan Kita? Bukan! Pekerjaan Tuhan.

Bahan Bacaan: 1 Korintus 15:58 (Bacaan GKP, Minggu 2 September 2012)
“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”
στε, δελφοί μου γαπητοί, δραοι γίνεσθε, μετακίνητοι, περισσεύοντες ν τ ργ το κυρίου πάντοτε, εδότες τι κόπος μν οκ στιν κενς ν κυρί.[1]
Alternatif terjemahan:
“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, tetap berkelimpahan dalam pekerjaan Tuhan! Mengetahui bahwa jerih payahmu itu tidak akan sia-sia dalam Tuhan”
Apakah yang tidak akan sia-sia dalam Tuhan? Seringkali kita membayangkan bahwa yang tidak akan sia-sia adalah ketika kita melakukan suatu pekerjaan dalam Tuhan. Mendengar kata pekerjaan dalam Tuhan kita mungkin akan mengartikannya dengan beberapa arti. Bagi beberapa orang itu berarti bahwa ia harus lebih terlibat dalam aktivitas-aktivitas gereja. Bagi orang-orang lain, itu berarti meningkatkan kehidupan doa dan pembelajaran Alkitab. Beberapa yang lain menganggap bahwa mereka harus berpuasa untuk mengalami terobosan ke tingkat rohani selanjutnya. Benarkah Allah menghendaki yang demikian.
Hal yang pertama harus kita ingat adalah dasar dari semua itu adalah semua itu dalam Tuhan. Paulus tidak memisahkan keberadaan kita dalam Kristus lepas dari maksud pembicaraannya. Saat itu Paulus bercerita tentang kebangkitan tubuh. Bahwa nanti akan ada kebangkitan tubuh dan itu adalah sesuatu yang nyata dan dapat mereka andalkan dalam pengharapan mereka. Mereka boleh menganggap itu sebagai hadiah yang nyata bahwa Kristus adalah Tuhan mereka, dan itu bukan hanya mengenai perkara di dunia ini. Ia tidak tengah bercerita tentang sebuah pekerjaan yang harus dilakukan.
Hal yang ke dua, Paulus tidak bercerita tentang pekerjaan yang harus mereka lakukan, namun Paulus tengah cerita tentang pekerjaan Tuhan yang mereka sebagai umatnya harus tetap bediri teguh, tidak goyah dan berkelimpahan di dalam pekerjaan Tuhan itu. Tuhanlah yang melakukan semua pekerjaan itu sedangkan mereka hanya harus berpegang erat pada pekerjaan Tuhan itu.
Apa yang Allah minta dari kita? Pekerjaan apa yang Allah inginkan agar kita melakukan pekerjaan itu? Pekerjaan yang harus manusia lakukan adalah berdiri teguh, tidak goyah dan berkelimpahan untuk tetap dalam pekerjaan Tuhan. Satu-satunya hal yang harus kita lakukan adalah beriman pada pekerjaan yang saat ini Allah sedang kerjakan. Tidak ada yang harus dikerjakan. Tidak ada harga yang harus kita bayar karena itu sudah di bayar penuh. Peran kita hanyalah beristirahat di dalam Dia dan menghidupi pekerjaan yang telah selesai.
Apakah anda ingin melihat Allah bekerja? Bila anda memiliki iman, maka Allah akan ada pada diri anda, dan anda akan melihat Allah bekerja melalui anda melalui rutinitas sehari-hari anda. Percaya saja padaNya dan maju dalam iman. Sesederhana itu. Yesaya 26:12 mengatakan “segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami.” Allah telah mengatur beberapa hal yang Allah ingin lakukan melalui kita, sebelum kita sendiri melakukannya.
Paulus mengatakan sesuatu yang serupa. Efesus 2:10 “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Allah telah mempersiapkan segala sesuatu yang akan Ia lakukan melalui kita yang percaya kepadaNya. Untuk dipakai olehNya tidaklah tergantung pada rencana kita dan kemapuan kita untuk membayar harganya. Kita hanya haruslah mempercayaiNya dan menjalani rencana yang telah Ia atur bagi kita sejak dari awalnya.
Allah telah merencanakan untuk memakai hidup kita. Oleh peristiwa salib, Ia telah menyingkirkan semua rintangan yang membuat kita tidak menyadari rencana itu. Satu-satunya hal yang harus kita lakukan adalah percaya kepadaNya dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam tuntunan, hikamt dan kuasaNya. Tetap teguh, tidak goyah, dan berkelimpahan dalam pekerjaan Allah yang saat ini dikerjakanNya dalam kita. Kebangkitan Kristus memungkinkan kita mengerti itu. Usaha untuk mengerti dan menyerahkan diri itu akan menjadi sesuatu yang tidak sia-sia bagi kita. Kita tidak perlu giat bagi Tuhan. Kita hanya harus makin berserah. Kita tidak bisa menambahkan sesuatu pada pekerjaan Tuhan agar itu makin sempurna, sebaliknya kita harus melepaskan kehendak kita supaya Ia boleh makin berkarya dalam kita.


[1] Friberg, B., Friberg, T., Aland, K., & Institute for New Testament Textual Research (U.S.). (2001). Vol. 1: Analytical Greek New Testament : Greek text analysis. Baker's Greek New Testament library (1 Co 15:58). Cedar Hill, Texas: Silver Mountain Software.

Jumat, 31 Agustus 2012

Manusia Rohani

Bahan Bacaan: Yohanes 3:1-21
Mungkin kita sering mendengar pandangan yang mengatakan bahwa orang Kristen hanyalah orang berdosa yang oleh karena kasih karunia Yesus menjadi selamat. Kesalah pahaman ini menimbulkan kerancuan dan keraguan mengenai identitas kita yang sebenarnya. Kalau kita tidak terlampau berbeda dengan orang lain, lalu mengapa kita selamat? Kalau kita ini orang berdosa, apa yang kita harapkan dalam perbuatan kita? Dosa! Berbuat dosa adalah perbuatan normal bagi orang berdosa.  Berusaha terus menerus berperilaku dengan sebuah cara yang tidak alami akan melelahkan orang. Itulah sebabnya kita harus mengetahui siapa kita.
Untuk mengerti keslamatan dengan tepat, kita harus tahu terlebih dahulu akan kebutuhan kita akan keslamatan. Kadangkala kita berfikir keslamatan yang kita butuhkan adalah pengampunan dari kesalahan kita. Keslamatan yang kita butuhkan bukanlah pengampunan. Kita perlu mengerti karya yang Yesus lakukan untuk mengerti keslamatan macam apa yang kita butuhkan. Dalam karya Yesus Kristus kita menemukan kuasa dalam kebangkitanNya dan kemampuan Allah untuk mengubah kita oleh kuasa itu. Kita mati bagi realita, oleh pekerjaanNya yang sudah selesai dan kita perlu percaya pada apa yang telah Ia selesaikan.
Bagi orang berdosa, apa yang mungkin orang berdosa butuhkan? Kita mungkin akan berkata kita butuh pengampunan dari dosa-dosa yang telah dilakukan. Apakah pengampunan yang diberikan akan menyelesaikan masalah? Seumpama kertas yang kotor dan setelah itu di tip-ex, dibuat menjadi putih lagi, apakah masalahnya akan selesai di sana? Masalahnya adalah yang pertama kertas itu akan menjadi kotor lagi oleh kotoran yang baru lagi. Kita membutuhkan pengampunan dari dosa yang terus menerus. Dan itulah yang dilakukan oleh hukum taurat. Ia memberikan penyelesaian jenis tip-ex, membersihkan kesalahan yang telah dilakukan, yang memungkinkan atau bahkan pasti akan dikotori lagi. Permasalahan yang ke dua dan yang lebih besar adalah penyelesaian dengan cara ini tidak bisa menyelesaikan masalah yang ke dua dari dosa yaitu upahnya, konsekuensinya. Upah dosa adalah maut. Dosa yang dimaafkan tidak menyelesaikan masalah upahnya. Seperti orang yang meskipun dilarang orangtuanya untuk makan namun tetap sering melanggar, maka upah dari makan berlebihan yaitu obesitas tetap muncul pada diri sang anak. Sang anak akan tetap mengalami obesitas meskipun misalkan ia datang kepada orangtuanya meminta maaf telah melanggar larangan orangtuanya. Ia telah mendapat pengampunan dari orangtuanya atas kesalahannya, namun efek dari pelanggaran itu masih melekat pada dirinya. Upah dosa masih melekat pada manusia yang melakukannya. Maut masih akan terjadi pada manusia.
Apa yang dibutuhkan olah orang yang mati? Apa yang dibutuhkan oleh jasad yang ada di dalam liang kubur? Hanya ada satu jawaban, kehidupan! “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.” (Yohanes 3:16-18).
Dalam proses menghidupkan kita Allah membuat “kita” yang sama sekali baru. Bukan diubah penampakannya saja tetapi seumpama bayi yang dilahirkan. Dilahirkan ulang. Diri kita yang lama mati dan kehidupan yang baru dikaruniakan kepada kita. “Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh. Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali. Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.” (Yohanes 3:5-8).
Allah mengambil manusia lama kita, si pendosa, yang barasal dari daging, keturunan Adam, menyalibkannya bersama Kristus, mematikannya sekali untuk selamanya. Bersama kebangkitan Kristus, membangkitkan kita, menciptakan kita yang baru, si orang kudus, manusia rohani, anak-anak Allah. Kelahiran baru inilah yang memberikan identitas yang baru bagi kita.

Rabu, 29 Agustus 2012

Cara Tuhan, Cara Manusia?


Pada suatu hari empat orang anak mendekatai Nasarudin dan memberikannya se-tas penuh kenari. "Tuan, kami tak dapat membagi kenari ini secara merata. bisakah kau membantu kami?"
Nasarudin bertanya, "Kalian ingin pembagian cara Tuhan atau cara manusia?"
"Pembagian cara Tuhan," Jawab anak-anak itu.
Nasarudin membuka tas itu dan memberikan dua genggam kenari kepada satu anak, satu genggam kepada yang lain, dua biji kenari pada yang ketiga dan tidak memberikan apa-apa pada anak ke empat.
"Pembagian macam apa ini?" tanya anak-anak yang bingung.
"Yah,beginilah pembagian dengan cara Tuhan," jawab Nasarudin, "Dia memberikan beberapa orang secara banyak, yang lain sedikit dan beberapa yang lain tidak diberi apa-apa. Kalau kalian ingin pembagian cara manusia, aku akan memberikan jumlah yang sama pada kalian semua."

Memang cara Tuhan tak mudah dipahami dan tak mudah diterima oleh cara manusia, tapi mungkin cara itulah yang paling benar. "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11)

Rayuan dari Kekasih, Siapakah yang Menanggapi?

Bahan Bacaan: Kidung Agung 2:1-17 (bahan bacaan GKP, Rabu 29 Agustus 2012)
STANZA PERTAMA
SOPRANO
8              Dengarlah! Kekasihku!
Lihatlah, ia datang,
melompat-lompat di atas gunung-gunung,
meloncat-loncat di atas bukit-bukit.
9              Kekasihku serupa kijang,
atau anak rusa.
Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita,
sambil menengok-nengok melalui tingkap-tingkap dan melihat dari kisi-kisi.
10           Kekasihku mulai berbicara kepadaku:
STANZA KE DUA
TENOR
"Bangunlah manisku, jelitaku,
marilah!
11           Karena lihatlah, musim dingin telah lewat,
hujan telah berhenti
dan sudah lalu.
12           Di ladang telah nampak bunga-bunga,
tibalah musim memangkas;
bunyi tekukur terdengar di tanah kita.
13           Pohon ara mulai berbuah,
dan bunga pohon anggur semerbak baunya.
STANZA KE TIGA
Bangunlah, manisku, jelitaku,
marilah!
14           Merpatiku di celah-celah batu,
di persembunyian lereng-lereng gunung,
perlihatkanlah wajahmu,
perdengarkanlah suaramu!
Sebab merdu suaramu
dan elok wajahmu!"
STANZA KE EMPAT
CHORUS
15           Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu,
rubah-rubah yang kecil, yang merusak kebun-kebun anggur,
kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga!
STANZA KE LIMA
SOPRANO
16           Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia
yang menggembalakan domba di tengah-tengah bunga bakung.
17           Sebelum angin senja berembus
dan bayang-bayang menghilang,
kembalilah, kekasihku, berlakulah seperti kijang,
atau seperti anak rusa di atas gunung-gunung tanaman rempah-rempah!

Bagian yang menjadi inti pada ayat-ayat ini adalah ayat 10b-14. Ada undangan yang diucapkan oleh sang jejaka yang mengajak sang gadis untuk ikut bersamanya dan keluar untuk menemuinya. Sang gadis menyanyikan sebuah pembukaan dalam bagian yang dinyanyikannya (Ayat 8-10a)   dan menyimpulkan bagian ini dengan jawaban sang jejaka dengan kata-kata yang menguatkan dengan meyakinkan dia bahwa mereka berdua saling memiliki dan bahwa sang jejaka dapat mencintainya sampai fajar menjelang (ayat 16-17).
bagian Kidung Agung ini harus kita lihat sebagai rayuan sang jejaka dan tanggapan positif dari sang gadis. Kita tidak bisa mengartikan bagian ini sebagai percakan yang menjadi milik dari suami istri, bagian penyerahan jiwa raga (pernikahan) baru kita temukan pada pasal 4:16-5:1. Bagian ini menggambarkan pentingnya kata-kata dalam sebuah hubungan kasih antara seorang laki-laki dan perempuan. Bagi sang jejaka, dia harus mendapatkan perasaan dan kesetiaan sang gadis, dia harus menyentuh jiwa sang gadis dengan kata-katanya. Kidung Agung tidak hanya bercerita tentang seksualitas dan tubuh dari sang jejaka dan sang gadis, namun juga tentang kata-kata yang penuh kelembutan dan penuh perasaan. Usaha untuk menyentuh sang gadis dengan kata-kata dan bahwa sang gadis tidak mungkin dijangkau sang jejaka dengan sesuka hati adalah sebuah indikasi tentang satu konsep yang cukup mendominasi dalam Kitab Kidung Agung, yaitu konsep ke-perawanan. Dalam budaya Israel Kuno, seorang perawan tidak mungkin didekati oleh seorang jejaka dengan mudah. Sang jejaka harus berusaha meyakinkan sang gadis untuk membuka hatinya bagi sang jejaka dengan kata-kata rayuan cinta. Tanggapan sang gadis atas undangan sang jejaka dan ia yang balik mengundang sang jejaka menunjukan keinginan sang gadis pula untuk merespon sang jejaka. Sang jejaka telah membangkitkan rasa cinta yang saat itu telah matang dan ada di hati sang gadis. Namun harap di catat, bahwa ini baru sebuah undangan. Teksnya tidak menunjukan bahwa telah ada hubungan yang lebih jauh dari kata-kata.
Untuk lebih memahami Kidung Agung mungkin struktur Kiastik ini dapat membantu:
Judul (1:1)
A    1. Chorus dan Soprano: Pembukaan (1:2-4)
B      2. Soprano: Pendidikan bagi perawan 1 (1:5-6)
C          3. Soprano dan Chorus: menemukan sang kekasih (1:7-8)
D              4. Tenor, chorus dan Soprano: bagian pertama dari ungkapan kasih (1:9-2:7)
E                  5. Soprano dan tenor: ajakan untuk pergi (2:8-17)
F                      6. Tiga nyanyian malam pernikahan
Fa                         6a. soprano: kegalauan hati mempelai perempuan (3:1-5)
Fb                         6b. chorus: mempelai perempuan menemui mempelai laki-laki (3:6-11)
Fc                          6c. tenor: kecantikan mempelai perempuan (4:1-5)
G                        7. Soprano, tenor dan chorus: penyerahan jiwa raga (4:16-5:1)
F`                      8. Tiga nyanyian malam pernikahan
Fa`                        8a. soprano, tenor dan chorus: kepedihan mempelai perempuan (5:2-8)
Fb`                        8b. chorus dan soprano: mempelai perempuan menemukan kembali mempelai laki-laki (5:9-6:3)
Fc`                         8c. tenor dan chorus: kecantikan mempelai perempuan (6:4-10)
E`                         9. Soprano, chorus dan tenor: meninggalkan masa kanak-kanak (6:11-13)
D`                    10. Tenor dan soprano: bagian kedua dari ungkapan kasih (7:1-8:4)
C`                 11. Chorus dan soprano: merebut sang kekasih (8:5-7)
B`            12. Chorus dan soprano: pendidikan bagi perawan 2 (8:8-12)
A`     13. Tenor, chorus dan soprano: salam perpisahan (8:13-14)

Pesan Kitab Kidung Agung

Dalam salah satu bagian dalam film “Fligh of the Phoenix” ada sebuah kalimat yang diucapkan salah seorang penumpang yang tengah dalam perdebatan tentang perlunya memperbaiki pesawat mereka yang rusak akibat jatuh di pelosok gurun di Mongolia. Kalimat itu berkata “Menurutku orang Cuma perlu satu hal dalam hidup ini, ia hanya perlu orang untuk dikasihi. Kalau kau tak bisa memberikan itu, berilah mereka sesuatu untuk mereka harapkan. Dan kalau kau juga tak bisa memberikan itu, berilah mereka sesuatu yang bisa mereka kerjakan.”
Cinta adalah penggerak sejati bagi kemanusiaan, bahkan bagi kehidupan itu sendiri. Tanpa cinta apa artinya menjadi manusia, dan bahkan apa artinya hidup. Tema cinta-lah yang menjadi pokok dalam Kitab Kidung Agung, salah satu kitab paling menarik, namun juga yang sulit dipahami dan sering di salah mengerti.
Kitab ini memiliki kesatuan struktur dalam bentuk kiastik, berisi dialog antara laki-laki dan perempuan yang saling mengungkapkan perasaan cintanya. Dalam Kidung Agung, Pasal 4:16-5:1 menjadi bagian tengah dari struktur kiastik tersebut dan terdiri dari 13 lagu terpisah (Kanto) yang dinyanyikan oleh penyanyi solo pria dan solo wanita dan sebuah bagian chorus dalam tiap lagunya. “Soprano” adalah bagian yang dinyanyikan perempuan, “Tenor” adalah bagian yang dinyanyikan oleh laki-laki dan chorus-nya oleh putri-putri Yerusalem.
Pesan yang dikandung dalam teologi Kitab Kidung Agung lebih dari sekedar menyatakan bahwa cinta kasih dan seks itu baik namun juga beberapa hal lain.
-          Kitab ini menolak pandangan kaum asketis. Seksualitas tidaklah secara moral buruk atau sesuatu yang bertentangan dengan kekudusan. Cinta seksual adalah sesuatu yang indah dan memperkaya kehidupan manusia. Realitas dasar seks, sebagaimana kita temukan dalam tulisan Jerome dan Agustinus, memang memperlihatkan bagaimana perempuan dan terutama laki-laki berjuang mengatasi nafsu dan perselingkuhan. Dalam hal ini, Kitab Kidung Agung tidak diam. “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, / seperti meterai pada lenganmu, / karena cinta kuat seperti maut, / kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!” (Kidung Agung 8:6). Cinta menuntut dengan kuat dan menuntut kesetiaan mutlak untuk sang kekasih. Pernikahan harus benar-benar monogami. Namun Kidung Agung tidak membenarkan secara moral atau mengubah larangan terhadap perzinahan. Sebaliknya, gairah cinta yang menuntut kesetiaan juga merupakan perisai untuk kesetiaan. Untuk mencoba untuk hidup tanpa gairah cinta bukan hanya membuat manusia putus asa tanpa harapan, namun hal itu juga tidak bijaksana, tidak alkitabiah, dan justru membuka pintu untuk nafsu yang sangat keras berusahan keluar. Dalam Kitab Kidung Agung, gairah cinta yang tepat adalah perlindungan terhadap gairah yang salah.
-          Cinta romantis. Kidung Agung dipenuhi dengan gairah dan keinginan akan cinta dari awal sampai akhir. Bahwa ekspresi dari gairah cinta mungkin menjadi perhatian bagi para pendeta abad pertengahan apalagi yang secara khusus berbicara mengenai payudara dan paha. Orang abad pertengahan diperintahkan untuk menjaga nafsu di bawah kendali, yang ideal adalah orang yang bisa melakukan hubungan seksual dengan istrinya tanpa gairah dan hanya demi prokreasi (penciptaan manusia lain dalam perintah Allah). Gairah cinta adalah apa yang dirayakan oleh Kidung Agung. Meskipun referensi untuk tindakan seksual tidak banyak ditemukan dan biasanya tidak secara langsung. Namun keinginan cinta dari pasangan untuk pasangannya cukup banyak, meskipun juga tidak langsung atau terselubung. Pernikahan adalah bagian pusat dan inti dari Kitab Kidung Agung (Psl 4:16-5:1). Apa yang Kidung Agung coba sampaikan adalah dasar dan keindahan dari sebuah pengalaman suami istri mengalami hasratnhya yang saling dipanaskan satu sama lain. Kidung Agung mencapai sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh budaya Kristen abad pertengahan dan tidak dapat dicapai secara berseni oleh budaya modern dan postmodern: seorang pria dan wanita yang menjaga hasrat untuk satu sama lain dalam konteks moralitas konvensional.
-          Moralitas Seksual. Kidung Agung tidak menetapkan sebuah aturan untuk kehidupan seksual manusia atau bahkan secara eksplisit berbicara tentang hal tersebut, tapi ini tidak berarti bahwa tidak ada pandangan moral yang meresapi kitab ini. Seksualitas dalam Kidung Agung adalah monogami dan heteroseksual. Pada kenyataannya, monogami heteroseksual adalah dasar untuk semua sukacita dalam Kidung Agung. Kasih dalam Kidung Agung ini jelas monogami. Perempuan itu bagi sang lelaki adalah “dindaku, pengantinku” (misalnya, Psl 5:1). Dia adalah bunga bakung, semua wanita lainnya adalah duri (Psl 2:2). Di antara enam puluh permaisuri, delapan puluh selir, dan para dara yang tak terhitung jumlahnya, "merpatiku" sempurna dan satu-satunya (Psl 6:8-9; semua yang disebutkan itu adalah perbandingan, diantara banyak wanita, hanya satu yang dipilihnya. Lelaki ini tidak mengatakan bahwa ia memiliki permaisuri, selir, dan pacar yang lain). Untuk sang wanita, pria itu adalah “kekasihku” dan satu-satunya “yang dicintai jiwaku” (mis: Psl 1:7, 5:10). Dia adalah sebuah pohon apel, semua laki-laki lain hanya pohon-pohon di hutan (Psl 2:3). Dia adalah yang terbaik di antara sepuluh ribu orang (Psl 5:10). Paling kuat, sang wanita itu menyatakan, "kekasih saya adalah milikku dan aku miliknya" (mis, Psl 2:16). Untuk mengabaikan semua ini sebagai sebuah rayuan kosong dan hanya kata-kata manis (seperti ketika seorang pria yang memiliki beberapa pacar berkata kepada salah satu dari mereka, “Kau satu-satunya gadis untukku!”) adalah menjadi sebuah sinisme yang ditolak oleh  Kidung Agung itu sendiri. Kidung Agung menggambarkan cinta yang ideal dan sempurna, ketika seorang kekasih yang diidam-idamkan mengekspresikan pengabdian mutlak antar mereka satu sama lain, kita bisa berasumsi bahwa mereka bersungguh-sungguh mengucapkannya.
-          Kelembutan sebagai Cara Memelihara Hubungan. Banyak penafsir berusaha untuk menggali Kidung Agung untuk menemukan petunjuk tentang bagaimana memiliki hubungan dalam rumah tangga yang baik. Kita  bisa menemukan gambaran cinta yang ideal dan melihat bagaimana dua kekasih saling memperlakukan satu sama lain sebagai sesuatu yang berguna dalam hubungan pernikahan. Ucapan kasih sayang menyiratkan seberapa besar pentingnya ungkapan yang diucapkan dalam kelembutan jika kita menghendaki cinta untuk berkembang. Ungkapan kasih dalam Kidung Agung bukanlah aktivitas fisik belaka, sering kata-kata yang memuji tubuh dari sang tercinta adalah kasih sayang itu sendiri. Menggunakan kata-kata untuk menyatakan keintiman dan memuji adalah sesuatu yang diperlukan dan merupakan bagian dari kegembiraan cinta. Kita dapat menemukan bagian lain yang menunjukkan cita-cita praktis tentang hubungan seksual. Pasal 1:5 menunjukkan bahwa kecantikan, sebagaimana ditentukan oleh budaya kontemporer, dapat menyesatkan. Membandingkan Psl 1:10-11 dengan 1 Petrus 3:3 memungkinkan kita untuk sampai pada pandangan yang seimbang tentang kelayakan perhiasan untuk wanita. Petrus mengatakan bahwa perhiasan nyata keindahan wanita adalah kehidupan yang saleh, dan ia menolak daya tarik pakaian yang indah. Kidung Agung menunjukkan bahwa perhiasan dapat meningkatkan kecantikan seorang wanita dan bahwa ada kalanya perhiasan tepat diberikan kepada seorang wanita yang dicintai. Tidak diragukan lagi bahwa baik Kidung Agung maupun 1 Petrus sama-sama benar. Kidung Agung 1:13 menunjukkan bahwa perhiasan yang paling indah untuk kecantikan seorang wanita adalah cinta dari suaminya.
-          Kegembiraan yang Singkat di Bawah Matahari. Lelaki dan perempuan dalam Kidung Agung masih muda. Tubuh mereka yang sempurna: mata yang indah, rambut hitam, kulit keemasan, dan giginya masih utuh (Psl 4:2). Pemuda itu melompat di bukit-bukit seperti rusa (Psl 2:9). Pipi wanita muda itu memiliki ciri kemudaan (Psl 6:7). Mereka adalah pemula dalam hal cinta dan seksualitas. Masa-masa ini adalah masa-masa yang mulia, indah, dan berlalu dengan cepat, sebagaimana musim semi yang digambarkannya (Psl 2:10-13). Kita tidak dapat membaca Kidung Agung tanpa kesadaran bahwa saat bersukaria dalam cinta masa muda memang saat yang singkat. “Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan! Buanglah kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan.” (Pkh 11:9-10). Kidung Agung memanusiawikan perintah Kohelet itu. Hidup ini singkat, hari-hari kita di bawah matahari hanya sedikit, dan waktu di mana kita memiliki kemudaan itu berlalu dengan cepat. Sang lelaki dan perempuan muda dalam Kidung Agung telah menggunakan waktu mereka dalam kemuliaan di bawah matahari. Dalam Kidung Agung, cinta dan kematian sama kuatnya: “Karena cinta yang kuat, seperti maut. / kegairahan gigih, seperti dunia orang mati” (Psl 8:6). Mungkin cukup mengejutkan ketika kita menemukan kematian pada bagian akhir sebuah puisi cinta dalam Kidung Agung. Meskipun kematian dan dunia orang mati dalam Kidung Agung pada dasarnya adalah ilustrasi dari kekuatan cinta, namun hal itu juga mengingatkan bahwa setiap kali bersumpah setia dalam keabadian, mereka melakukannya dengan kesadaran bahwa suatu hari nanti salah seorang dari mereka akan menguburkan kekasih mereka. Namun justru karena ini-lah mereka memiliki lebih banyak alasan untuk membuat musim semi yang singkat itu menjadi agung. “Kami akan bersorak-sorai dan bergembira karena engkau, kami akan memuji cintamu lebih dari pada anggur! Layaklah mereka cinta kepadamu!” (Psl 1:4)!
-          Mengalami Perasaan Penuh Kehangatan. Hubungan cinta antara lelaki dengan perempuan, mengekspresikan kebutuhan mendasar dari jiwa manusia, sejenis transformasi dalam jiwa. Cinta romantis mengubah manusia dari ketidak bahagiaan ke dalam pengalaman tranformatif. Orang yang dalam cinta akhirnya berani untuk memberi tanpa takut disakiti atau dikhianati. Orang yang dalam cinta akhirnya akan mengalami apa artinya sukacita, mempercayai, dan kepenuhan dalam hidup. C. S. Lewis dalam Weight of Glory mengatakan “Seorang lelaki mungkin mencintai seorang perempuan dan tidak mendapatkannya, namun jatuh cinta akan menjadi sebuah fenomena yang aneh sekali dalam dalam sebuah dunia tanpa seks” (h. 6). Perasaan hangat oleh cinta, mengungkapkan sesuatu yang mendasar tentang diri kita, tentang dunia ini dan tentang Allah.  Kita bisa merasakan pengalaman dalam kehangatan ini mungkin ketika membaca puisi, ketika menyaksikan matahari tenggelam, atau pada saat seorang laki-laki dan seorang perempuan menyadari bahwa mereka ternyata saling mencintai. Pada saat itulah kita memahami bahwa ada sesuatu di luar kita yang mampu menjawab kebutuhan dalam hati kita yang mungkin tidak dapat kita ucapkan atau tidak kita sadari. Hati kita akhirnya menemukan apa yang dinantikannya yaitu kebebasan untuk membuka dirinya pada Kebaikan yang akan mengubah kita, tanpa kehilangan diri kita. Perasaan kehangatan ini menjadi analogi yang mudah bagi kita bagi pengalaman berjumpa dengan Tuhan; saat-saat penuh kasih karunia.

Kamis, 23 Agustus 2012

Latar Belakang Surat 1 Yohanes.

Ketika surat 1 Yohanes ditulis, telah ada komunitas Yohanin (pengikut Yohanes). Mereka terdiri atas beberapa gereja rumah di kota Efesus dan sekitarnya. Dalam komunitas tersebut, ada dua kelompok pemahaman yang pemahaman iman dan penerapan tindakan etisnya bukan hanya belum sepenuhnya kristiani, bahkan cenderung menyimpang, selain dari kelompok yang tetap memegang ajaran yang benar. Ada yang meninggikan gambaran tentang Yesus sehingga merendahkan gambaran tentang hukum, dan yang lain merendahkan gambaran tentang Yesus sehingga meninggikan gambaran tentang hukum. Kelompok Yahudi-Kristen sulit menerima ke-mesias-an Yesus, dan hukum Taurat dijunjung tinggi. Pemahaman seperti ini memiliki beberapa kesamaan pandangan dengan sekte Yahudi yang disebut Kaum Ebionit. Kelompok Kriten-Yunani masih terpengaruh oleh sistem keslamatan Yunani yang berdasarkan pada pemahaman dualistik (“Gnostik”). Mereka sulit menerima kemanusiaan Yesus, sehingga karya Yesus di salib bukanlah sesuatu yang penting, bahkan dianggap bukanlah sesuatu yang nyata bagi mereka. Pemahaman yang demikian ini dekat dengan apa yang kemudian disebut sebagai kaum Doketis.
Namun bisa dikatakan, penyimpangan iman ini justru disebabkan oleh pemahaman mereka yang tidak menyeluruh dari pengajaran yang terdapat dalam Injil Yohanes itu sendiri.
Misalkan ada pemahaman dalam kelompok mereka yang mengatakan bahwa mereka itu tanpa dosa, tidak mungkin berdosa karena  mereka percaya pada Yesus, bagaimanapun tindakan dan kehidupan mereka. Hal ini mungkin diakibatkan oleh karena kesalah pahaman mereka bahwa berdosa adalah tanda ketidakpercayaan (Band. Yohanes 8:31-47). Penulis mengingatkan bahwa dosa itu nyata, harus diakui keberadaannya, sehingga karya pengorbanan Yesus di kayu salib itu menjadi nyata dan bahwa dunia ini membutuhkan penyelamatan dari dosa melalui Kristus (Pasal 1:7,9; 2:1). Klaim yang lain adalah yang dikutip langsung dari Injil Yohanes bahwa mereka yang mengenal Allah, tinggal di dalam Yesus dan berjalan di dalam terang. Meskipun klaim ini memang benar bila mereka adalah orang percaya yang sejati, namun penulis  1 Yohanes menunjukan bahwa klaim mereka ini tidak memiliki dasar dalam hidup mereka karena hidup mereka yang menyimpang dalam tingkah laku, karena mereka mengabaikan hidup-yang-terpusat-pada-Yesus yang menjadi isi dari iman dan kehidupan orang percaya yang hidup dalam kasih (Pasal 2:5-6, 10).  
Bagi musuh-musuhnya yang menyimpang, baik yang terpengaruh pemahaman Yahudi maupun yang terpengaruh pemahaman Yunani, penulis 1 Yohanes memberikan pemahaman Kristologi yang lebih seimbang. Bagi yang membesarkan kemanusiaan Yesus dengan dasar perkataan Yesus “Bapa lebih besar dari aku” (Yohanes 14:28), penulis menekankan bahwa Yesus itu ada sebelum segala sesuatu ada, kudus dan akan kembali dalam kemuliaan pada akhir jaman (1 Yoh 2:13-14, 20, 28-29; 3:2,3,5,7; 5:20). Bagi para mantan orang kafir yang sangat menekankan keilahian Kristus (dengan dasar dari ayat ayat seperti Yoh 10:25-38), penulis menekankan kembali kemanusiaan Yesus, yang kehidupan dan kematianNya adalah sungguh-sungguh terjadi dan nyata (1 Yoh:2:6; 4:2, 9, 17; 1:7-9; 2:2, 12; 3:5, 8, 16; 4:10). Untuk kedua kelompok penulis memberikan gambaran Kristologi yang menjaga ketegangan tentang kebenaran bahwa Yesus adalah satu dengan Allah namun juga satu dengan manusia (Psl 1:1-4; 2:22-23; 5:1).
Kesalahan etis yang timbul dari kesalaham pemahaman ini kemudian diluruskan dengan mengingatkan kembali dengan mengungkapkan lagi masalah kasih, namun dengan sebuah kesadaran yang lebih mendalam dan personal (Psl 2:7-8), kasih itu bukan sesuatu yang dimiliki namun adalah esensi dari keberadaan manusia yang hidup dalam terang. Perintah Kristus tentang kasih tidak dapat dipisahkan dari iman mereka dan berlaku bagi seluruh manusia. Penulis menawarkan sebuah etika yang yang mengkombinasikan perintah (3:11 “Kita harus saling mengasihi”) dengan sebuah pernyataan (4:19 “Kita mengasihi karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita”).
Penulis juga menekankan karakter “pengorbanan” dari peristiwa kematian Yesus (1 Yoh 1:7; 2:2; 3:16; 4:10), yang dalam Injil Yohanes fungsi penembusan dosa dari kematian Yesus kurang nampak dan yang lebih nampak adalah aspek pemuliaan dari Yesus dalam peristiwa salib itu (Yoh 1:29, 36; 3:14-16; 10:14-18; 11:50-52). Penulis meminjam eskatologis futuristik dari Injil Yohanes (Yoh 5:25-29; 6:44) dan menggunakannya kembali untuk menujuk kepada orang yang mengaku dalam persekutuan dengan Yesus, namun tindakan moral mereka tidak layak dan menyebut orang yang demikian tersebut sebagai Anti Kristus yang akan datang pada hari-hari akhir dunia (1 Yoh 2:18; 3:2).

Rabu, 22 Agustus 2012

Membengkokkan Air

Nasrudin merasa amat haus. Setelah itu, wajahnya tampak berseri-seri, begitu melihat sebuah pipa air di seberang jalan. Tapi pada ujung pipa, tempat keluarnya air ditutup oleh potongan kayu. Sambil meletakkan mulutnya yang terbuka ke dekat penutup itu, ditariknya sumbat kayu dengan sekuat tenaga. Lalu air menyembur teramat kerasnya sehingga membuat Nasrudin terjatuh.
"Oh!" teriak Nasrudin, "itu yang menyebabkan mereka menutupmu. Dan ternyata sampai sekarang pun engkau belum juga bisa belajar dari pengalaman!"[1]
Memang lebih mudah membelokan jalannya air dari pada membuat manusia belajar dari pengalaman dan mengubah jalan hidupnya. Namun jangan lupa “Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini.” Amsal 21:1


[1] Humor Sufi III, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta, h. 10

Selasa, 21 Agustus 2012

Ke-Maha Kuasa-an Allah

Ezra 1:1-2 (Bahan renungan GKP Rabu, 22 Agustus 2012)
1 Pada tahun pertama zaman Koresh, raja negeri Persia, TUHAN menggerakkan hati Koresh, raja Persia itu untuk menggenapkan firman yang diucapkan oleh Yeremia, sehingga disiarkan di seluruh kerajaan Koresh secara lisan dan tulisan pengumuman ini:
2  "Beginilah perintah Koresh, raja Persia: Segala kerajaan di bumi telah dikaruniakan kepadaku oleh TUHAN, Allah semesta langit. Ia menugaskan aku untuk mendirikan rumah bagi-Nya di Yerusalem, yang terletak di Yehuda. 
Pengulangan Keputusan Cyrus pada akhir Kitab Tawarikh (36:22-23) dan pada awal Kitab Ezra (1:1-3) merupakan isu penting dalam perdebatan mengenai hubungan antara Kitab Tawarikh dan Kitab Ezra-Nehemia. Dari data yang sama dapat digunakan untuk argumen yang berlawanan: di satu sisi, pengulangan dipandang sebagai kesengajaan menulis ulang untuk melestarikan hubungan yang ada sebelum pada jaman yang kemudian Kitab Tawarikh dipisahkan dari Kitab Ezra; sedangkan pandangan yang lain menganggap pengulangan sengaja ditulis untuk menyatukan dua dokumen yang pada awalnya terpisah. Williamson[1] menganggap Kitab Tawarikh yang berakhir tiba-tiba dengan ויעל “biarlah ia berangkat pulang” sebagai sebuah akhir yang tidak wajar untuk Kitab Tawarikh. Sebenarnya bila Kitab Tawarikh berakhir pada pasal 36:21 justru bisa memberikan akhir yang memuaskan untuk kitab tersebut.
Penulis Alkitab, bagaimanapun, adalah tidak hanya berkaitan dengan fakta-fakta sejarah eksternal, namun yang lebih menarik bagi mereka adalah pemeliharaan dan tujuan ilahi dalam sejarah mereka. Dengan demikian penulis kitab ini melihat dengan mata iman ketika ia Koresh  mengeluarkan perintah tersebut.  Ini sesuai dengan nubuatan Yeremia dalam Yeremia 25:11-12 “Maka seluruh negeri ini akan menjadi reruntuhan dan ketandusan, dan bangsa-bangsa ini akan menjadi hamba kepada raja Babel tujuh puluh tahun lamanya.  Kemudian sesudah genap ketujuh puluh tahun itu, demikianlah firman TUHAN, maka Aku akan melakukan pembalasan kepada raja Babel dan kepada bangsa itu oleh karena kesalahan mereka, juga kepada negeri orang-orang Kasdim, dengan membuatnya menjadi tempat-tempat yang tandus untuk selama-lamanya.” Dan Yeremia 29:10 “Sebab beginilah firman TUHAN: Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel, barulah Aku memperhatikan kamu. Aku akan menepati janji-Ku itu kepadamu dengan mengembalikan kamu ke tempat ini.” Namun kalau kita melihat dalam konteks waktu peristiwa terjadinya, mungkin yang lebih tepat adalah nubuatan Yesaya yang mengatakan bahwa Allah akan menggerakan roh Koresh yang akan memanggil kembali orang Israel dan memerintahkan untuk pembangunan Bait Allah. Misalkan dalam Yesaya 41:2 “Siapakah yang menggerakkan dia dari timur, menggerakkan dia yang mendapat kemenangan di setiap langkahnya, yang menaklukkan bangsa-bangsa ke depannya dan menurunkan raja-raja? Pedangnya membuat mereka seperti debu dan panahnya membuat mereka seperti jerami yang tertiup.”, Yesaya 41:25 “Aku telah menggerakkan seorang dari utara dan ia telah datang, dari sebelah matahari terbit Aku telah memanggil dia dengan namanya. Seperti tukang periuk menginjak-injak tanah liat, demikian dia akan menginjak-injak penguasa-penguasa seperti lumpur.”, Yesaya 44:28 “Akulah yang berkata tentang Koresh: Dia gembala-Ku; segala kehendak-Ku akan digenapinya dengan mengatakan tentang Yerusalem: Baiklah ia dibangun! dan tentang Bait Suci: Baiklah diletakkan dasarnya!”, Yesaya 45:1 “Beginilah firman TUHAN: "Inilah firman-Ku kepada orang yang Kuurapi, kepada Koresh yang tangan kanannya Kupegang supaya Aku menundukkan bangsa-bangsa di depannya dan melucuti raja-raja, supaya Aku membuka pintu-pintu di depannya dan supaya pintu-pintu gerbang tidak tinggal tertutup:”, dan nubuatan yang paling mengejutkan dalam Yesaya 45:13 “Akulah yang menggerakkan Koresh untuk maksud penyelamatan, dan Aku akan meratakan segala jalannya; dialah yang akan membangun kota-Ku dan yang akan melepaskan orang-orang-Ku yang ada dalam pembuangan, tanpa bayaran dan tanpa suap," firman TUHAN semesta alam.”
Dalam perspektif iman, tujuan Allah dalam membangkitkan Koresh untuk menghancurkan Babel adalah untuk memastikan bahwa bait suci di Yerusalem bisa dibangun kembali dan orang-orang buangan dapat kembali ke tanah air mereka. Dengan cara ini penulis kitab ini menganggap seluruh kemenangan Koresh adalah bagian dari kehendak Allah bagi umat-Nya yang saat itu ada di pembuangan
Di luar Alkitab, sebutan Raja Persia untuk Koresh tidak ditemukan. Yang juga jadi pertanyaan adalah bagaimana Koresh mengenal nama Allah sebagai “TUHAN (YAHWEH) Allah semesta langit”. Namun memang ada kebijakan dari Raja-Raja Akememit untuk menggunakan nama-nama Dewa yang dikenal oleh daerah jajahannya, namun bukan berarti mereka percaya dan menjadi penganut kepercayaan dari agama-agama tersebut.  
Hal yang menarik adalah bahwa Bait Allah, baik yang pertama ketika dibangun oleh Raja Salomo dan yang kedua dalam peristiwa pembangunan kembali ini, semuanya dibangun sebagian dengan dana yang disediakan dari negara-negara lain yang tidak percaya Allah. Perintah Koresh untuk membangun kembali Bait Allah mencakup tidak hanya kembalinya alat yang diambil dari Bait Allah oleh tentara Nebukadnezar, tetapi juga dana dari kas negara Persia (Ezra 6:4-5; cf Yes 44:28;. 45 : 13). Ada sebuah Keluaran yang baru saat ini. Bukan dengan Allah yang memaksa seorang Firaun yang enggan, tetapi karena Allah menggerakan hati seorang raja Persia. Umat Allah sekali lagi akan bebas dan membangun Bait Allah yang kudus. Amsal 21:1 “Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini.” Kita menemukan bahwa Allah kita adalah Allah yang berkuasa.
Yeremia 32:27 “Sesungguhnya, Akulah TUHAN, Allah segala makhluk; adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk-Ku? Allah yang bersabda maka segala sesuatu menjadi ada adalah penolong kita. Firman yang terus-menerus menopang semua yang ada, untuk menjaga partikel atom yang membentuk diri kita kacau balau dan berlarian kesana kemari, itu hidup di dalam diri kita. Roh yang melayang di atas permukaan samudra raya sebelum molekul pertama terbentuk adalah pemandu kita.
Tidak ada masalah yang kita hadapi melebihi kemampuan Allah Tritunggal untuk mengatasinya. Tidak ada yang terlalu sulit bagi-Nya. Dalam saat-saat kelemahan kita, jangan memaksakan diri untuk mengandalkan kekuatan dan kemampuan kita sendiri. Serahkan diri kepada-Nya, akui ketergantungan total kita kepada kasih karunia-Nya yang penuh kasih dan kemudian sabar menunggu Dia untuk campur tangan dalam hidup kita.
Kekuasaan-Nya mampu mengubah hati orang-orang yang menentang kita, mengubah keadaan yang kita hadapi atau membuat roh jahat untuk melarikan diri. Tidak ada yang begitu besar sehingga Cinta Ilahi belum kalahkan itu demi kita. Jangan resah atas kesulitan kita. Tujuan akhir dari segala sesuatu dalam hidup kita adalah kebaikan, karena kebaikan adalah jalan ilahi yang kita jalani dan tujuan akhir yang akan kita capai.


[1] Dalam H. G. M. Williamson, Israel in the Books of Chronicles (London: Cambridge UP, 1977) or Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and PreachingDillard, R. B. (2002). Vol. 15: Word Biblical Commentary  : 2 Chronicles. Word Biblical Commentary. Dallas: Word, Incorporated, h. 9.