Jumat, 18 September 2015

Pendamaian Manusia dari (?) dosa

Saya tidak pernah merasa bermasalah dengan Allah. Lalu para pengajar agama mengajarkan, "Allah tidak menyukai kamu." Allah membenci saya. "Mengapa Ia membenci saya?", Itu pertanyaan yang muncul dengan segera. "Allah membenci kamu karena perbuatanmu!" "Perbuatan apa? Mengapa Ia membenci saya karena perbuatan yang saya tidak ketahaui atau sadari salah?" "Ia membenci kamu bukan karena perbuatanmu saja. Ia membencimu karena kamu adalah manusia, dan manusia adalah mahluk yang berdosa sejak awalnya!" "Apa yang harus saya lakukan?" "Kamu perlu diperdamaikan dengan Allah?" "Mengapa Ia perlu diperdamaikan dengan saya?" "Karena Ia sedemikian sucinya, sehingga Ia membencimu dan tidak mau melihatmu." "Kalau Ia tak mau melihat saya, biarlah demikian!" "Kamu akan dihukum olehnya kalau kamu tidak diperdamaikan dengan Dia!" "Mengapa Dia sedemikian kejamnya?" "Dia tidak kejam, malahan Dia Maha Pengasih!" "Bagaimana mungkin?" "Ini jalan keluarnya. Lakukan perintah agama ini, dan Allah akan kembali baik dengan kamu!" "Lalu baiknya Allah dimana?", lalu saya meninggalkan guru agama itu.

Jumat, 09 Januari 2015

Allah berbicara, Apakah manusia mendengarkan?

Seorang Irlandia yang bernama Kevin Sheenham dari Limerick di tahun 1955 membuat rekor untuk berbicara tanpa henti selama 133 jam. Rekor itu kemudian dipecahkan oleh Tim Harty dari Coon Rapid, Michigan di tahun 1975 dengan berbicara tanpa henti selama 144 jam. Sedangkan rekor berbicara tanpa henti untuk perempuan dipegang oleh Mrs. Mary E. Davis yang pada tahun 1958 mulai berbicara ketika ia ada di Buffalo, New York dan dia tidak berhenti berbicara sampai ia tiba di Tusla, Oklahoma dengan total waktu 110 jam dan 30 menit. Setiap kita pasti berbicara. Namun jelas tujuan kita berbicara bukanlah untuk memecahkan rekor. Berbicara dan mendengar tidaklah bertujuan demi berbicara atau mendengar itu sendiri. Tujuan yang benar dari komunikasi adalah saling memahami. Hanya karena seseorang merasa lebih baik setelah mereka “mengungkapkan apa yang ada dalam hati mereka”, atau di pihak lain, ada merasa bahwa mereka telah melakukan kewajiban mereka untuk mendengar apa yang diungkapkan oleh orang lain, hal itu tidak berarti bahwa kedua orang itu telah saling memahami. Ketika seseorang tidak saling memahami, kedua orang yang berbicara dan mendengar itu tidaklah benar-benar saling berkomunikasi, mereka hanya dua orang, yang satu berbicara dan yang lain mendengar, tetapi tanpa komunikasi. Tentu hal ini adalah sesuatu yang sangat disayangkan, ketika ada kata-kata yang banyak tanpa ada komunikasi karena tidak dihasilkan pemahaman. Allah tidak pergi dari manusia, tetapi Allah membangun kemunikasi dengan manusia. Kita tahu Ia mendengarkan perkataan dan doa kita, tetapi Ia bukan sekedar bertugas mendengar atau mendengar dengan terpaksa. Ia memperhatikan semua hal yang kita katakan. Bahkan kata-kata yang kita keluarkan sebagai “ungkapan hati kita”, ungkapan kekesalan kita, ungkapan kemarahan kita, ungkapan kesedihan kita, ungkapan teriakan minta tolong yang kita ucapkan. Tidak ada satu ungkapan atau perkataan yang keluar dari bibir kita yang tidak diperhatikan-Nya. Bahkan apa yang ada dalam hati kita diketahui-Nya. Dengan apa yang didengar-Nya itu, Allah memberikan pertolongan, penghiburan, janji, elusan lembut yang dapat dirasakan ketika kita membuka hati kita kepada-Nya. Allah juga tidak berhenti berbicara kepada kita, manusia ini, dengan satu tujuan yaitu kita mengenal Dia. Dengan mengenal Dia kita dimungkinkan ada dalam persekutuan dengan-Nya dalam kehidupan kita ini. Allah berkomunikasi dengan kita sehingga bukan hanya Dia memahami kita, tetapi kita juga mengenal dan memahami Dia. Dengan bermacam cara, Allah mencoba membangun komunikasi dengan kita. Pertama kita memiliki Kitab Suci yang menjadi kesaksian tentang bagaimana Allah yang menyingkapkan diri-Nya kepada kita. Melalui Kitab Suci, Allah berkomunikasi dengan kita dan menyingkapkan siapakah Dia, alangkah Dia mengasihi kita, karunia yang diberikan-Nya kepada kita, bagaimana kita dapat mengenal Dia, dan bagaimana hidup dalam kasih karunia-Nya. Di dalam Kitab Suci, kita juga akan menemukan gambaran kelimapahan hidup Allah yang diberikan-Nya kepada kita dan Ia ingin kita menikmati hidup dalam kelimpahan kasih karunia-Nya itu. Namun meskpun Kitab Suci adalah sesuatu yang agung, tetap Kitab Suci bukanlah bentuk komunikasi yang tertinggi dalam cara Allah berkomunikasi dengan manusia. Cara yang paling agung sebagai bentuk komunikasi Allah dengan manusia adalah penyingkapan pribadi-Nya di dalam Yesus Kristus. Alkitab menyatakan, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. (Ibrani 1:1-3)”. Allah berkomunikasi dengan kita tentang kasih-Nya dengan jalan menjadi salah seorang dari kita. Yohanes 1:14 “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Ia berbagi kemanusiaan dengan kita. Ia berbagi penderitaan, pencombaan, kepedihan dan bahkan menanggung dosa kita di atas pundak-Nya. Ia mengampuni kesalahan seluruh manusia, dan menyediakan tempat bagi kita bersama-sama dengan-Nya di sebelah kanan Bapa. Nama-Nya adalah Yesus. Bahkan nama Yesus menggambarkan kasih Allah kepada kita. Nama Yesus berarti”Allah adalah keslamatan”. Nama lain yang diberikan kepada-Nya adalah Immanuel yang artinya Allah berserta kita. Yesus bukan hanya Anak Tunggal Bapa, tetapi juga adalah Firman Allah, yang menyingkapkan siapa itu Allah, yang adalah Bapa kita dan apa kehendak Allah bagi kita, yaitu agar kita menerima, kasih, karunia dan persekutuan dengan Dia. Kehendak Bapa adalah Yohanes 6:40 “Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman." Allah itu sendiri telah mengambil inisiatif bagi kita supaya kita dapat mengenal-Nya. Dia mengundang kita untuk berkomunikasi dengan Dia di dalam doa, mendengar Kitab Suci dan dalam persekutuan dengan sesama kita. Dia telah mengenal setiap kita. Bukanlah ini saatnya kita mengenal Dia.

Selasa, 29 Januari 2013

Masih ada tangan, kaki dan mata.


Bahan Pembacaan : Matius 18:8-9 “Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.”
Kita sudah terbiasa dengan istilah lebih baik mencegah dari pada mengobati. Mencegah dianggap lebih mudah daripada mengobati. Namun dalam perkara menjaga supaya diri sendiri tidak jatuh ke dalam kejahatan, apa yang Yesus nampaknya bukanlah perkara yang sederhana dan mudah.
Cara yang menurut Yesus dalam hal pencegahan supaya kita tidak jatuh dalam perbuatan dosa, mungkin kita anggap terlalu ekstrim. Untuk mencegah agar tangan kita atau kaki kita melakukan kejahatan, Yesus mengatakan “penggallah dan buanglah!”, sedangkan untuk mencegah mata agar tidak membawa manusia dalam penyesatan dan perbuatan dosa, Ia mengatakan, “cungkillah dan buanglah itu!”.
Kalau orang Kristen adalah orang yang mengikuti seluruh perkataan Yesus, maka sepertinya tidak ada orang Kristen di dunia ini. Karena pencegahan adalah sesuatu yang dilakukan sebelum sesuatu itu terjadi, bukan setelah itu terjadi baru dihukum dengan hukuman yang demikian, maka mungkin masa terbaik untuk melakukan perintah itu adalah ketika kita masih bayi dan tangan, kaki dan mata kita belum membawa kejahatan dalam kehidupan kita. dalam kenyataannya tidak ada bayi yang dengan sengaja dibutungkan tangan dan kakinya atau yang matanya tercongkel untuk mencegah dari melakukan kejahatan.
Apa yang Yesus katakan di bagian ini lebih luas dan berat dari apa yang disampaikan-Nya dalam Matius 5:28-30 “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.” Di sini perintahnya hanya berkaitan dengan dosa dan godaan seksual dan yang dikorbankan adalah mata kanan dan tangan kanan saja.
Kesempurnaan hidup yang tidak terkena godaan, dalam ajaran Yesus ini adalah syarat mutlak untuk mendapat hidup yang kekal, karena sifatnya yang pencegahan, maka hukuman adalah sesuatu yang terjadi kalau kejahatan itu ternyata terjadi dalam hidup kita. beberapa orang berusaha menafsirkan apa yang Yesus katakan itu sebagai sesuatu yang hiperbola, dilebih-lebihkan, dan bukan untuk ditanggapi secara literali, secara harafiah. Namun bacaannya tidak mengindikasikan hal itu, atau kita menganggap Yesus suka mengada-ada dan melebih-lebihkan? Kesempurnaan dalam hidup adalah syarat bagi hidup. Karena pencegahan adalah lebih mudah, mengapa sampai saat ini, yang lebih mudah tidak dilakukan, yah?

Jumat, 14 September 2012

Menjadi Pengajar dalam Persekutuan Umat Tuhan

Bahan Pembacaan: Bahan KRT GKP Rabu 19 September 2012
Yakobus 3:1 “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.”

Rasul Yakobus telah sangat prihatin tentang perilaku orang-orang yang berada dalam persekutuan umat Allah dan menyebut diri mereka Kristen. Yakobus sudah berbicara tentang lidah dalam Pasal pertama di mana ia memberi kami nasihat harus cepat untuk mendengar dan lambat dalam berbicara. Kemudian di Pasal 1:26  “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” Khawatir dengan bahaya lidah kita yang memiliki kecenderungan untuk segera mengungkapkan apa yang saat itu ada dalam pikiran kita, ia menyarankan bahwa kita harus mengekang itu.
Kenapa sih, kita harus begitu khawatir tentang pengendalian lidah kita? Yakobus memberi kita jawaban dalam ayat pertama dari pasal ketiga. Hal ini karena manusia, dan terutama guru iman, lebih ingin menjadi seorang pengajar daripada belajar. Kadang-kadang kita melihat ada lebih banyak yang mengajarkan agama hari ini daripada orang yang sungguh-sungguh mau belajar. Segera setelah seseorang mendengar beberapa khotbah, ia merasa telah menjadi seorang teolog yang siap mengkritik pendeta dan mengajar orang lain dalam hal teologi. Pada zaman dahulu ilmu yang dipelajari paling mendalam dan paling sulit dari semua ilmu adalah ilmu teologi, dan universitas pertama didirikan untuk tujuan mengajar pelajaran ini. Sekarang dengan mendengar beberapa kalimat dalam Alkitab orang dapat membuat orang Kristen membusungkan dada dan membuatnya percaya bahwa ia adalah seorang guru yang sudah layak dalam persekutuan umat Allah. Ini adalah satu bentuk penipuan-diri-sendiri dan sebentuk kemunafikan yang ingin diperingatkan oleh Yakobus. Kita sebaiknya tidak berpura-pura bahwa kita tahu lebih banyak daripada yang sesungguhnya dalam persekutuan umat Allah. Memang, tentu saja, ini bukan untuk mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat menggunakan orang-orang dengan sedikit pengetahuan. Allah tetap menggunakan manusia dalam keterbatasan mereka, tapi salah menurut Yakobus kalau seseorang menganggap dirinya adalah seorang guru padahal ia sendiri menyadari bahwa sebenarnya tidak. Suatu hari seorang pengkhotbah terpelajar disambut oleh pengkhotbah yang tidak berpendidikan yang membenci pendidikan. “Pak, anda seorang lulusan perguruan tinggi, ya?” “Ya, Pak,” jawabnya. “Saya bersyukur,” jawab pendeta yang tidak terpelajar itu, “bahwa Tuhan membuka mulut saya meskipun saya tidak belajar apapun.” “Memang pernah terjadi”, jawab pendeta yang belajar, “terjadi dalam waktu Bileam, ketika keledainya bisa berbicara dalam tuntunan Tuhan, tetapi hal-hal tersebut semakin jarang terjadi saat ini. Mungkin anda adalah salah satu kejadian langka.”
Tampaknya bahwa pada gereja awal, kesempatan diberikan kepada orang-orang beriman yang berkumpul bersama-sama untuk ibadah untuk berdiri dan memberikan kesaksian atau nasihat. Banyak yang berpikir bahwa kesaksian dan ibadah adalah sesuatu yang baru, tapi sebenarnya tidak. Hal itu sama tuanya dengan Gereja itu sendiri. Kebebasan berbicara dan berekspresi menjadi salah satu ciri dalam ibadah Kristen awal. Tapi, seperti yang sering terjadi, kebebasan itu dahulu dan sampai saat ini masih sering disalahgunakan. Ada saja beberapa orang yang bangkit dan, bukannya memberikan perkataan kesaksian atau nasihat, menguasai percakapan secara keseluruhan. Tentu saja, jika perkataannya ini disajikan dengan baik dan dimaksudkan untuk peneguhan dari orang-orang yang mendengarnya dan tidak bertentangan dengan contoh dan kehidupan dari orang yang berbicara itu sendiri mungkin tidak akan ada yang keberatan. Tetapi jika niat dari perkataannya adalah kepuasan dari naluri “pamer”, maka, bahkan jika apa yang dikatakannya itu baik, hal itu dikutuk oleh James. Niat adalah sesuatu yang penting dalam semua kegiatan kita, apalagi yang berkaitan dengan Injil. Jika seseorang harus berdiri di tengah-tengah jemaat untuk tujuan menarik perhatian pada dirinya sendiri, bukan kepada Kristus, mungkin lebih baik bagi dia kalau tetap duduk. Persekutuan umat Allah dapat berjalan tanpa orang tersebut. Alangkah kita perlu menjadi seperti seorang tukang sapu di India yang sering membuat orang berkerumun saat ia memberitakan Injil. Suatu hari seorang pejalan kaki berkata dengan nada mencemooh dia, “Mengapa orang-orang berkumpul dengan begitu hormat hanya untuk mendengarkan seorang tukang sapu?” “Ketika Juruselamat masuk ke Yerusalem di atas seekor keledai,” jawab tukang sapu itu, “orang-orang menaruh jubah dan baju mereka di bawah kaki keledai itu. Bukan demi keledai itu, tapi karena Raja segala Raja yang naik di atasnya. Ketika Kristus turun dari keledai, tak ada yang peduli lagi tentang keledai itu. Keledai dihormati selama Raja segala raja yang menggunakannya.” Begitu pula dengan kita. Saat kita berhenti rendah hati menjadi alat di tangan Tuhan untuk meneguhkan orang lain, kita tidak akan memberikan sukacita lagi bagi orang lain dan kepada Allah. Hal pertama yang kita harus perhatikan jika kita ingin menjadi pengajar di rumah Allah adalah motivasi kita, mengapa kita memiliki keinginan itu. Jika niatnya benar, Allah dapat memakai kita apakah kita berpendidikan atau tidak.
Kata kerja yang digunakan oleh Yakobus dalam teks Yunani aslinya cukup signifikan, yaitu gínesthe, yang dalam arti radikal atau ketika mengacu kepada orang berarti “memiliki keberadaan yang baru” Akan lebih akurat kalau kita menerjemahkannya sebagai kata kerja imperatif, “Jangan menjadi.” Pada masa para Rasul, seperti juga yang sering terjadi saat ini, mereka yang mengajarkan Firman Tuhan mengambil sikap bahwa sebagai guru mereka tidak dapat diajar oleh orang lain. Mereka pikir diri telah mencapai keadaan dimana orang lain harus mendengarkan mereka, dan bahwa mereka tidak perlu mendengarkan orang lain. Tidak diragukan lagi bahwa kita semua, bahkan orang percaya yang paling bodoh, mampu berbicara sepatah kata nasehat, kata-kata pengajaran. Tapi sebagaimana kita memberikan pengajaran kita kepada orang lain, mari kita mengizinkan orang lain untuk mengajar kita. Ketika menjadi guru kita tidak boleh kehilangan anggapan bahwa kita sendiri perlu diajar. Seorang pernah bercerita bahwa ia merasa geli suatu hari, saat ia menjamu seorang pengkhotbah yang brilian, dan mendengar dia berbicara tentang seorang rekan kerja-nya yang sepertinya menganggap dirinya sebagai orang keempat dari oknum dalam Trinitas. Hal itu memang keadaan yang sangat menyedihkan pikiran. Roh Kudus ingin semua orang yang telah lahir ke dalam persekutuan umat Allah untuk menjadi pengajar, tapi juga tidak pernah berhenti belajar. Pengajar yang tidak mau diajar pastilah seorang pengajar yang buruk, dan pengajar seperti itulah yang oleh Yakobus dikatakan bahwa sudah terlalu banyak. Semoga Tuhan melindungi kita dari sikap seperti! Adalah lebih baik untuk kita semua, yang membuka mulut kita untuk berbicara kepada orang lain tentang Kristus, untuk sebelumnya memeriksa diri kita sendiri. Di tahun 59 M, tidak lama setelah Paulus bertobat, ia menyatakan dirinya “tidak layak untuk disebut seorang rasul.” Kemudian dia bertumbuh dalam kasih karunia dan di tahun 64 M ia berseru, “Saya adalah yang terkecil dari antara semua orang kudus”, dan sesaat sebelum kematiannya, ketika ia telah mencapai kedewasaan dalam Kristus di tahun 65 M, pengakuannya, “Aku adalah orang yang paling berdosa.” Tidak heran ajaran Paulus masih terus hidup. Hai para pengajar, satu-satunya cara agar apa yang anda ajarkan bisa hidup setelah anda pergi adalah untuk bertumbuh dalam kerendahan hati. Kalau kita mau sederhanakan, apa yang Yakobus nyatakan adalah bahwa kita memiliki terlalu banyak pengajar yang bangga akan dirinya sendiri. Dia tidak mengatakan bahwa kita tidak harus memiliki banyak guru, tetapi bahwa kita seharusnya tidak memiliki guru yang bangga akan dirinya sendiri, karena motif dari guru yang bangga akan dirinya sendiri bukanlah mendidik orang percaya, melainkan keinginan untuk memamerkan pengetahuannya.
Rasul Paulus senada dengan Yakobus dalam apa yang dia katakan ke jemaat Korintus dalam 1 Korintus 14:26-34. Ayat 26 mengatakan: “Jadi bagaimana sekarang, saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun.” Dengan kata lain, jika perkataan kita tidak membangun, lebih baik diam. Bukankan ini adalah aturan pengaman? Bukankah ini adalah prinsip menghormati Kristus dalam Injil? Jika kita benar-benar mentaatinya, kita akan memiliki gangguan, perkelahian dan bentrokan yang lebih sedikit antar pribadi dalam persekutuan sebagai umat Allah. Alangkah kacaunya ibadah Kristen di Korintus, dan di tempat lain, kalau semua orang berdiri untuk mengucapkan sepatah kata untuk Tuhan padahal itu sebenarnya untuk memamerkan dirinya sendiri. Jangan memiliki guru yang seperti itu, kata Yakobus. Mereka mempermalukan Kristus.
Perhatikan juga bahwa Yakobus menyebut mereka sebagai “saudara-saudaraku.” Seolah-olah dia berkata, “Saya harus menjaga juga, supaya saya juga jangan menjadi seorang pengajar yang tidak layak,  dan saya dengan mudah bisa juga mengajar karena saya ingin pamer, atau dengan tidak mempraktikkan apa yang saya ajarkan.”
Kenyataan bahwa Yakobus menganggap mungkin bahwa ia juga bisa menjadi guru yang sia-sia dan tidak konsisten jelas ditunjukkan oleh penekanan kata kita dan ia menggunakan kata kerja dalam ayat ini, “kita akan menerima.” Bagian kedua dari ayat ini berbunyi: “sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat” Perhatikan bahwa ia tidak mengatakan “kamu akan dihakimi,” tetapi “Kita akan dihakimi”.
Apa yang akan terjadi dengan para guru itu? Kata Yunani yang digunakan adalah kríma, yang berasal dari kata kerja krínō, yang berarti, dalam hubungan dengan Allah, “memisahkan, membedakan”, Ia akan memisahkan orang-orang dari yang telah menjadi pengajar Firman-Nya dan akan menghakimi dengan standar jauh lebih ketat daripada orang Kristen lainnya. Penghukuman di sini tidak benar-benar berarti penghukuman ke dalam neraka abadi, keterpisahan kekal dari-Nya, melainkan perhitungan yang terpisah berdasarkan apa yang kita ajarkan dan bagaimana kita mengajarkannya. Karena kita mengasumsikan pentingnya posisi kepemimpinan dalam persekutuan umat Allah, akan ada tanggung jawab khusus dan lebih besar kepada Allah pada hari penghakiman. Bagaimana Roh menuntun kita, itulah panggilan yang kita ambil, bukan berdasarkan keinginan untuk membanggakan diri sendiri.

Minggu, 09 September 2012

Permainan Golf di Surga


Musa, Yesus dan seorang berjambang yang lebih tua sedang bermain golf satu putaran. Pertama Musa yang memukul bola. Bolanya melenceng dan mengarah ke sebuah kolam. Dengan cepat Musa mengangkat stik-nya dan air kolam itu terbelah sehingga bola itu dapat terus meluncur melewati kolam itu dan menuju daerah yang rata. Giliran Yesus memukul bola dan bola itu mengarah ke kolam yang sama. Kali ini bolanya menggelinding di atas permukaan air dan menuju ke arah lubang. Giliran terakhir si orang tua yang memukul bola. Bolanya melenceng jauh menuju ke arah jalan raya. Bolanya masuk ke bak sebuah truk yang kebetulan lewat dan truk itu menurunkan muatannya ke sebuah rumah dan bolanya menggelinding ke sebuah daun teratai yang ada di kolam rumah itu. Seekor kodok besar menelan bola itu. Pada saat itu juga Seekor elang besar turun dan mencengkeram kodok itu dan mengangkat kodok itu terbang ke arah lapangan golf. Ketika kodok itu ada di atas lapangan golf, kodok itu memuntahkan bolanya dan bola itu masuk ke lubang golf. Sebuah hole-in-one yang sangat indah. Musa melihat ke arah Yesus dan berkata, "Inilah yang aku tidak suka ketika kita bermain dengan AyahMu!"
Keajaiban yang tidak terlihat seperti keajaiban, lebih mirip kebetulan. Dan kebetulan itu memang keajaiban yang paling indah.
Memang tidak menyenangkan menjadi lawan dari orang yang seluruh rencanaNya pasti terlaksana. Namun alangkah menyenangkannya kalau kita menjadi bagian dari rencanaNya yang pasti akan terlaksana


Sabtu, 01 September 2012

Pekerjaan Kita? Bukan! Pekerjaan Tuhan.

Bahan Bacaan: 1 Korintus 15:58 (Bacaan GKP, Minggu 2 September 2012)
“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”
στε, δελφοί μου γαπητοί, δραοι γίνεσθε, μετακίνητοι, περισσεύοντες ν τ ργ το κυρίου πάντοτε, εδότες τι κόπος μν οκ στιν κενς ν κυρί.[1]
Alternatif terjemahan:
“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, tetap berkelimpahan dalam pekerjaan Tuhan! Mengetahui bahwa jerih payahmu itu tidak akan sia-sia dalam Tuhan”
Apakah yang tidak akan sia-sia dalam Tuhan? Seringkali kita membayangkan bahwa yang tidak akan sia-sia adalah ketika kita melakukan suatu pekerjaan dalam Tuhan. Mendengar kata pekerjaan dalam Tuhan kita mungkin akan mengartikannya dengan beberapa arti. Bagi beberapa orang itu berarti bahwa ia harus lebih terlibat dalam aktivitas-aktivitas gereja. Bagi orang-orang lain, itu berarti meningkatkan kehidupan doa dan pembelajaran Alkitab. Beberapa yang lain menganggap bahwa mereka harus berpuasa untuk mengalami terobosan ke tingkat rohani selanjutnya. Benarkah Allah menghendaki yang demikian.
Hal yang pertama harus kita ingat adalah dasar dari semua itu adalah semua itu dalam Tuhan. Paulus tidak memisahkan keberadaan kita dalam Kristus lepas dari maksud pembicaraannya. Saat itu Paulus bercerita tentang kebangkitan tubuh. Bahwa nanti akan ada kebangkitan tubuh dan itu adalah sesuatu yang nyata dan dapat mereka andalkan dalam pengharapan mereka. Mereka boleh menganggap itu sebagai hadiah yang nyata bahwa Kristus adalah Tuhan mereka, dan itu bukan hanya mengenai perkara di dunia ini. Ia tidak tengah bercerita tentang sebuah pekerjaan yang harus dilakukan.
Hal yang ke dua, Paulus tidak bercerita tentang pekerjaan yang harus mereka lakukan, namun Paulus tengah cerita tentang pekerjaan Tuhan yang mereka sebagai umatnya harus tetap bediri teguh, tidak goyah dan berkelimpahan di dalam pekerjaan Tuhan itu. Tuhanlah yang melakukan semua pekerjaan itu sedangkan mereka hanya harus berpegang erat pada pekerjaan Tuhan itu.
Apa yang Allah minta dari kita? Pekerjaan apa yang Allah inginkan agar kita melakukan pekerjaan itu? Pekerjaan yang harus manusia lakukan adalah berdiri teguh, tidak goyah dan berkelimpahan untuk tetap dalam pekerjaan Tuhan. Satu-satunya hal yang harus kita lakukan adalah beriman pada pekerjaan yang saat ini Allah sedang kerjakan. Tidak ada yang harus dikerjakan. Tidak ada harga yang harus kita bayar karena itu sudah di bayar penuh. Peran kita hanyalah beristirahat di dalam Dia dan menghidupi pekerjaan yang telah selesai.
Apakah anda ingin melihat Allah bekerja? Bila anda memiliki iman, maka Allah akan ada pada diri anda, dan anda akan melihat Allah bekerja melalui anda melalui rutinitas sehari-hari anda. Percaya saja padaNya dan maju dalam iman. Sesederhana itu. Yesaya 26:12 mengatakan “segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami.” Allah telah mengatur beberapa hal yang Allah ingin lakukan melalui kita, sebelum kita sendiri melakukannya.
Paulus mengatakan sesuatu yang serupa. Efesus 2:10 “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Allah telah mempersiapkan segala sesuatu yang akan Ia lakukan melalui kita yang percaya kepadaNya. Untuk dipakai olehNya tidaklah tergantung pada rencana kita dan kemapuan kita untuk membayar harganya. Kita hanya haruslah mempercayaiNya dan menjalani rencana yang telah Ia atur bagi kita sejak dari awalnya.
Allah telah merencanakan untuk memakai hidup kita. Oleh peristiwa salib, Ia telah menyingkirkan semua rintangan yang membuat kita tidak menyadari rencana itu. Satu-satunya hal yang harus kita lakukan adalah percaya kepadaNya dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam tuntunan, hikamt dan kuasaNya. Tetap teguh, tidak goyah, dan berkelimpahan dalam pekerjaan Allah yang saat ini dikerjakanNya dalam kita. Kebangkitan Kristus memungkinkan kita mengerti itu. Usaha untuk mengerti dan menyerahkan diri itu akan menjadi sesuatu yang tidak sia-sia bagi kita. Kita tidak perlu giat bagi Tuhan. Kita hanya harus makin berserah. Kita tidak bisa menambahkan sesuatu pada pekerjaan Tuhan agar itu makin sempurna, sebaliknya kita harus melepaskan kehendak kita supaya Ia boleh makin berkarya dalam kita.


[1] Friberg, B., Friberg, T., Aland, K., & Institute for New Testament Textual Research (U.S.). (2001). Vol. 1: Analytical Greek New Testament : Greek text analysis. Baker's Greek New Testament library (1 Co 15:58). Cedar Hill, Texas: Silver Mountain Software.

Jumat, 31 Agustus 2012

Manusia Rohani

Bahan Bacaan: Yohanes 3:1-21
Mungkin kita sering mendengar pandangan yang mengatakan bahwa orang Kristen hanyalah orang berdosa yang oleh karena kasih karunia Yesus menjadi selamat. Kesalah pahaman ini menimbulkan kerancuan dan keraguan mengenai identitas kita yang sebenarnya. Kalau kita tidak terlampau berbeda dengan orang lain, lalu mengapa kita selamat? Kalau kita ini orang berdosa, apa yang kita harapkan dalam perbuatan kita? Dosa! Berbuat dosa adalah perbuatan normal bagi orang berdosa.  Berusaha terus menerus berperilaku dengan sebuah cara yang tidak alami akan melelahkan orang. Itulah sebabnya kita harus mengetahui siapa kita.
Untuk mengerti keslamatan dengan tepat, kita harus tahu terlebih dahulu akan kebutuhan kita akan keslamatan. Kadangkala kita berfikir keslamatan yang kita butuhkan adalah pengampunan dari kesalahan kita. Keslamatan yang kita butuhkan bukanlah pengampunan. Kita perlu mengerti karya yang Yesus lakukan untuk mengerti keslamatan macam apa yang kita butuhkan. Dalam karya Yesus Kristus kita menemukan kuasa dalam kebangkitanNya dan kemampuan Allah untuk mengubah kita oleh kuasa itu. Kita mati bagi realita, oleh pekerjaanNya yang sudah selesai dan kita perlu percaya pada apa yang telah Ia selesaikan.
Bagi orang berdosa, apa yang mungkin orang berdosa butuhkan? Kita mungkin akan berkata kita butuh pengampunan dari dosa-dosa yang telah dilakukan. Apakah pengampunan yang diberikan akan menyelesaikan masalah? Seumpama kertas yang kotor dan setelah itu di tip-ex, dibuat menjadi putih lagi, apakah masalahnya akan selesai di sana? Masalahnya adalah yang pertama kertas itu akan menjadi kotor lagi oleh kotoran yang baru lagi. Kita membutuhkan pengampunan dari dosa yang terus menerus. Dan itulah yang dilakukan oleh hukum taurat. Ia memberikan penyelesaian jenis tip-ex, membersihkan kesalahan yang telah dilakukan, yang memungkinkan atau bahkan pasti akan dikotori lagi. Permasalahan yang ke dua dan yang lebih besar adalah penyelesaian dengan cara ini tidak bisa menyelesaikan masalah yang ke dua dari dosa yaitu upahnya, konsekuensinya. Upah dosa adalah maut. Dosa yang dimaafkan tidak menyelesaikan masalah upahnya. Seperti orang yang meskipun dilarang orangtuanya untuk makan namun tetap sering melanggar, maka upah dari makan berlebihan yaitu obesitas tetap muncul pada diri sang anak. Sang anak akan tetap mengalami obesitas meskipun misalkan ia datang kepada orangtuanya meminta maaf telah melanggar larangan orangtuanya. Ia telah mendapat pengampunan dari orangtuanya atas kesalahannya, namun efek dari pelanggaran itu masih melekat pada dirinya. Upah dosa masih melekat pada manusia yang melakukannya. Maut masih akan terjadi pada manusia.
Apa yang dibutuhkan olah orang yang mati? Apa yang dibutuhkan oleh jasad yang ada di dalam liang kubur? Hanya ada satu jawaban, kehidupan! “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.” (Yohanes 3:16-18).
Dalam proses menghidupkan kita Allah membuat “kita” yang sama sekali baru. Bukan diubah penampakannya saja tetapi seumpama bayi yang dilahirkan. Dilahirkan ulang. Diri kita yang lama mati dan kehidupan yang baru dikaruniakan kepada kita. “Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh. Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali. Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.” (Yohanes 3:5-8).
Allah mengambil manusia lama kita, si pendosa, yang barasal dari daging, keturunan Adam, menyalibkannya bersama Kristus, mematikannya sekali untuk selamanya. Bersama kebangkitan Kristus, membangkitkan kita, menciptakan kita yang baru, si orang kudus, manusia rohani, anak-anak Allah. Kelahiran baru inilah yang memberikan identitas yang baru bagi kita.